Feeds:
Posts
Comments

Les Piano…


Sejak April lalu sebuah keyboard terpajang dan menghiasi ruang keluarga di rumah. Keyboard ini tidak hanya sebuah hadiah ulang tahun untuk QQ yang sejak umur 5 tahun menginginkan sebuah piano (mahal amat mintanya Kak? Keyboard aja dulu yak? 🙂 ), tapi juga perwujudan obsesi ayahnya yang dari dulu juga ingin bisa memainkan piano 😀 salah satu alat musik yang saya amat ingin bisa memainkannya, tapi belum juga berkesempatan belajar memainkannya karena tidak ada fasilitas…
Pada hari yang sama keyboard itu sampai di rumah, hari itu pula QQ kami daftarkan di sebuah sekolah musik di kota tempat kami tinggal untuk mengikuti kursus piano. Sengaja saya pilihkan kursus piano dan bukan electone, karena piano itulah dasar permainan alat musik sejenis, entah itu piano sendiri, electone, keyboard. Piano juga adalah impresi dan representasi musik klasik, piano juga adalah satu alat musik akustik di mana suara yang dihasilkan masih murni dan belum tersentuh permainan efek suara seperti alat-alat musik elektronik.
Di rumah, layaknya juga barang baru lainnya, kami semua (not including my wife I guess…) berebut memainkan keyboard baru ini. QQ karena memang sudah lama dia menginginkannya dan juga sambil mencoba apa yang dia pelajari di tempat kursus, adiknya Nia karena dia suka mendengarkan lagu-lagu dan efek suara yang ada dalam database keyboard itu sekaligus juga sambil mengusili kakaknya (Nia, kamu usil banget sih…), dan saya sendiri (heheheh…) karena saya juga sudah lama ingin bisa memainkan piano, seperti biasa saya mempelajarinya secara otodidak, tanpa kursus. Paling-paling nanti saya tanya-tanya ke QQ kalau dia sudah jauh lebih canggih dari saya.
Kembali lagi ke tempat kerja, saya hanya bisa berkomunikasi lewat telepon dengan keluarga, sambil melepas kangen, berdiskusi dengan istri dan menanyakan perkembangan anak-anak. QQ mirip dengan saya, dia pendiam dan cenderung untuk tidak bercerita apa-apa yang dia kerjakan. Kami orang-tuanya lah yang harus pintar-pintar memancing QQ untuk bercerita, bagaimana dia ikut bermain drama di sekolah, menulis puisi untuk kelas, dan hal-hal lain yang dia kerjakan selama tidak bersama saya atau istri. Termasuk juga mengenai les pianonya. Saya harus memancing dia terlebih dahulu, bercerita bagaimana ayahnya sulit melanjutkan ‘les’ piano di jobsite karena nggak ada keyboard dan minta dia ajarkan sesuatu yang baru untuk saya lewat telepon 🙂 Senang sekali rasanya mengetahui kalau dia sangat menikmati kursusnya, bertemu dengan ibu guru di tempat kursus, belajar hal-hal baru. Bahkan pernah suatu hari pada saat dia sakit, dia ngotot untuk masuk sekolah karena hari itu adalah hari di mana QQ les piano. QQ tidak ingin melewatkan hari itu, dia khawatir kalau dia tidak bersekolah hari itu karena sakit sama artinya dengan dia tidak akan pergi ke tempat les piano. Sambil tersenyum, akhirnya Ibunya membolehkan dia masuk sekolah hari itu, dan mengantarkannya ke tempat les piano siang harinya sepulang sekolah… 🙂

Ah, saya jadi semakin kangen rumah…..

 

 

 

 


Di tulisan saya sebelumnya “Regular Meeting – Only for Kebo?”, saya sudah menyinggung satu dari dua poin yang ingin saya komentari dari tulisan “Morning Meeting – Kebo ke Sawah” nya Irwin. Kali ini saya ingin mengomentari poin kedua…

Saya termasuk sering mendengarkan jargon yang dimaksud oleh Irwin “Satu orang ke luar, seribu orang antre siap menggantikannya” di kalangan petinggi kadipaten Mojorejo Inggil Sedoyo di negeri Cartenz ini, terutama sehubungan dengan rencana bedol desa paksa sebagian warga kadipaten dari negeri Cartenz ke negeri Jayakarta, yang masih di bawah kekuasaan negeri Cartenz. Bagaimanapun, saya adalah salah seorang kepala desa, walaupun desa saya termasuk kecil dibandingkan dengan desa-desa lain di kadipaten ini, itupun masih dijajah kepala desa lain pula. Kedudukan saya sebagai kepala desa membuat saya juga ikut dalam musyawarah-musyawarah dan pertemuan rutin kepala desa se-kadipaten.

Pada beberapa pertemuan terbatas kepala desa / carik se-kadipaten yang saya ikuti, sering kali terungkap pertanyaan atau concern dari 1-2 carik mengenai upah dan jatah beras yang akan didapat para penduduk desa yang dipindah-lokasikan ke negeri Jayakarta. Pertimbangannya, kalau upah yang diterima menurun, ditakutkan banyak penduduk yang akan lari ke negeri lain. Tetapi para kades dan carik yang lain yakin akan janji penguasa negeri yang katanya sedang mengkaji ulang undang-undang yang ada dan akan mengeluarkan undang-undang baru mengenai upah para penduduk yang dipindahkan ke negeri Jayakarta, di mana upah yang diterima akan tetap bagus dan tidak bisa dikalahkan oleh penguasa negeri lainnya (ini rupanya yang menyebar menjadi gosip, datangnya dari para kades dan carik juga..). Para kades dan carik itu juga yakin, walaupun banyak penduduk yang lari, dengan iming-iming upah dengan standar yang menurut penguasa Cartenz lebih tinggi dibanding upah di negeri lain mereka bisa membujuk penduduk negeri lain untuk pindah ke negeri Jayakarta dan bekerja untuk mereka.

Keliatannya pemecahannya gampang ya? Penguasa negeri ini memang cenderung untuk menggampangkan permasalahan, dan sifat ini rupanya juga dimiliki (atau menurun?) adipati, kades dan carik-carik di kadipaten ini.

Kenyataannya, ternyata nggak segampang itu. Kalau gampang, mustinya rumah di desa-desa itu sudah penuh dong? Di desa tetangga yang pekerjaannya mengurus sawah saja ada dua rumah yang kosong dari dulu, sekarang malah ada dua penduduk lagi yang pergi, jadi total ada empat rumah yang kosong. Belum lagi di desa lain yang penduduknya buruh pabrik. Kondisi ini justru pada saat desa-desa itu masih ditempatkan di negeri Cartenz yang notabene upahnya lebih tinggi. Kalau desa-desa itu dipindah ke negeri Jayakarta yang (ternyata) upahnya jauh lebih rendah? Apa nggak tambah banyak yang hengkang? Para kades dan carik berkoar mereka akan gampang mencari penduduk baru apabila sudah pindah ke Jayakarta nanti, karena penduduk yang pintar bertani dan melinting rokok jauh lebih banyak di sana. Pertanyaan berikutnya, apa mereka mau pindah ke negeri Jayakarta dengan standar upah di sana? Penduduk dengan kualitas bagus tentu akan memilih negeri yang bisa membayar mereka mahal. Jadi, apa yang akan negeri Jayakarta dapatkan? Sementara rumah-rumah itu kosong, sawah yang ada tetap harus dikerjakan. Rokok tetap harus dilinting. Beban penduduk yang masih tinggal semakin berat. Belum lagi, setiap sawah punya karakteristik sendiri-sendiri untuk cara bajak dan porsi pupuknya. Setiap jenis rokok berbeda cara melintingnya….

Terlintas pula di pikiran saya, jangan-jangan para penguasa negeri Cartenz, termasuk sang adipati, memang punya rencana lain di balik semua ini. Jangan-jangan ini memang salah satu rencana mereka untuk mengurangi kepadatan penduduk di negeri dan kadipaten ini. Dan setelah itu mereka akan lari ke negeri Pakdesam dengan segala harta kekayaan mereka, termasuk harta penduduk negeri ini, dan meminta perlindungan dari penguasa negeri itu….

Saya marah, sedih, bingung. Bagaimana saya bisa menolong dan menyelamatkan penduduk desa saya? Sementara menyelamatkan diri sendiri saja…..

 


Saya tergelitik untuk menanggapi tulisan Irwin Morning Meeting – Kebo ke Sawah. Ada dua poin yang bisa saya tangkap di tulisan itu. Saya akan coba tanggapi satu poin dulu di tulisan ini, mengenai daily morning meeting/briefing yang diadakan setiap pagi di section Irwin (yang notabene section saya juga, walaupun saya tidak pernah mengakuinya…:p). Poin yang lain akan saya ulas di tulisan lain (lagi-lagi nggak janji. Kalau sempat ya…:) ).

Morning meeting yang dimaksud Irwin ini memang diadakan sejak kepala desa (kades) mereka yang lama pindah ke desa lain, dan kades bule baru (sebetulnya interim kades lama juga sih..) mengambil alih operasi di desa mereka. Setiap pagi, setiap kebo (oops..sorry Win 😀 ganti istilah ke Pak Tani aja deh..) ditanyai satu-persatu status sawah garapan mereka, apakah sawah mereka semalam baik-baik saja, ada masalah, ada problem dengan warga desa tetangga (yg notabene karyawan pabrik semua, karena nggak punya sawah..), dll.

Jujur aja, hasilnya sebetulnya terasa sekarang. Keadaan di desa lebih stabil (dibanding dulu..), sawah jarang ada yang problem juga. Penduduk desa saya yang tugasnya mengawasi sawah di desa tetangga selama 24 jam, juga semakin jarang menemukan masalah di sawah-sawah mereka dan juga tidak perlu sering-sering membangunkan salah satu dari para petani itu untuk mengejar babi hutan yang merusak sawah mereka. Hal ini semua tidak lain karena para petani desa tetangga saya ini menjadi lebih giat menggarap sawah mereka, juga karena fasilitas untuk menggarap sawah lebih komplet daripada dulu. Dana mengucur deras dari kades bule untuk membeli cangkul, traktor, pupuk, bahkan insektisida untuk memberantas hama.

Jujur juga, saya sering menemukan fakta kalo petani lokal itu harus diawasi tiap hari tiap saat, baru deh kerjanya bener, dan hal ini juga terjadi di desa-desa lain di negeri cartenz ini, nggak cuma di desa sebelah. Sebetulnya kades bule sudah meminta kades lokal yang dulu untuk melaksanakan pengawasan harian ini. Tapi, dalam pelaksanaanya kades lokal dulu lebih jadi seperti kamp konsentrasi daripada musyawarah desa (saya curiga pendekatan ini hanya untuk menutupi fakta bahwa kades lokal sebetulnya tidak memiliki teknik bertani yang memadai), walhasil para petani banyak yang merasa tertekan. Kades bule mengubah pendekatan itu, dan hasilnya lebih lumayan daripada kades lokal dulu. Mungkin itu kelebihan orang bule? Mereka lebih cepat membaca situasi dan mengubah pendekatan. Walhasil, para petani merasa tenang walaupun mereka, sadar nggak sadar, tiba-tiba malah jadi terjajah. Seperti itu pula mungkin pendekatan VOC di jaman dulu.

Desa saya sendiri memang di bawah kontrol Pak Kades bule juga. Gerakan perlawanan yang dulu marak, sekarang tinggal menjadi gerakan sporadis sewaktu-waktu saja. Pendekatan berbeda dari si kades bule benar-benar menyurutkan gerakan dan meniadakan alasan pemberontakan. Sadar nggak sadar, saya juga semakin terjajah.

Meminjam kata-kata Gonjez, dobol……

 

Kamera Baru


Saya bergabung dengan salah satu komunitas fotografi di internet beberapa waktu lalu. Sebetulnya hal ini dimulai secara tak disengaja, waktu saya iseng-iseng masukkan kata “Fotografer” di Google, waktu itu tujuan utama saya adalah mencari situs dengan artikel-artikel mengenai ilmu dasar fotografi. Setelah hasil pencarian muncul di layar Google, saya klik saja satu link di barisan paling atas dan kemudian browse di situs tersebut.

Hei, ternyata situs ini tidak hanya memuat artikel tentang ilmu fotografi dan tempat diskusi tentang fotografi, tetapi juga memungkinkan setiap orang yang tertarik untuk bergabung (subscribe), menampilkan foto hasil karyanya di situs ini (upload) dan saling mengkritik, mengomentari dan menilai foto hasil karya masing-masing.

Maka, saya pun bergabung dengan komunitas ini. Belakangan saya mendapatkan pula bahwa ternyata ada beberapa teman yang sama-sama bekerja di negeri cartenz ini yang bergabung di sini, bahkan banyak dari mereka itu adalah teman-teman dari departemen yang sama.

Artike demi artikel saya baca, foto demi foto yang saya hasilkan saya upload. Teknik fotografi saya, sedikit banyak, mulai meningkat. Seiring dengan itu, saya juga merasakan keterbatasan dari kamera poket digital yang saya gunakan, untuk bisa mengikuti teknik-teknik yang saya baca dan pelajari, untuk menghasilkan foto-foto yang saya inginkan. Kritik dan komentar terhadap foto-foto yang sudah saya tampilkan juga makin menunjukkan keterbatasan kamera yang saya gunakan.

Oke, saya harus ganti kamera!

Kamera digital SLR tidak murah. Tapi tekad saya untuk kembali menekuni hobi lama yang terlupakan ini sudah terlanjur kuat. Mulailah saya membanding-bandingkan beberapa kamera yang spesifikasinya kira-kira sesuai dengan keinginan saya dan juga kekuatan kantong, selain juga mencari pembeli untuk kamera poket digital yang saya punyai.

Kamera lama sudah terjual, kamera baru sudah datang. Tinggal cari ide dan obyek untuk menghasilkan foto. Selama 1 minggu hari kerja semenjak kamera baru datang, saya lumayan sibuk dan tidak sempat melihat-lihat untuk mendapatkan ide.

Sekarang, week-end datang dan saya malah terbaring sakit di kamar saya. Saya masih harus menunda lagi keinginan saya mencoba kamera baru. Sebel…


MIS – counting down since March 01 until today:

  1. Rudy ‘Gonjez’ (pindah ke Newmont)
  2. Pak Slamet (pindah departemen)
  3. Luki Ginanjar (pindah departemen)
  4. Michelle (pengen istirahat aja…)
  5. Irwin (katanya sih pindah ke Aceh…)
  6. Om Wok (pindah departemen)
6 personnel in one month? This is outrageous 😀 You might also want to read what is my friend’s view (he’s one of the person in above list as well..) about this at Daun-daun Berguguran….

Selamat deh, buat yang udah pada ‘lulus’ dari MIS university, doakan saya cepat ‘lulus’ juga ya…:)


 


Ini adalah ungkapan populer yang sering digunakan orang untuk mengungkapkan apabila dihadapkan kepada dua (atau lebih?) pilihan yang sulit. Dan satu pilihan tetap harus diambil.

Itulah yang saya hadapi sekarang, atau lebih tepatnya beberapa waktu yang lalu, yang efeknya masih ada hingga sekarang.

Hal ini bermula dengan kepindahan saya ke negeri cartenz karena pindah perusahaan. Sebelum saya memutuskan untuk pindah ke tempat (perusahaan) yang baru ini, saya sudah mendapatkan kesempatan untuk melakukan kunjungan ke wilayah kerja, istilah kerennya jobsite visit, atas biaya perusahaan yang akan menggunakan jasa saya ini. Karena negeri ini masih dikategorikan daerah terpencil (remote location) dan saya termasuk orang yang ‘rewel’ untuk masalah benefit dan fasilitas, apalagi yg bersangkutan dengan keluarga, saya gunakan kesempatan ini untuk melihat-lihat fasilitas yang ada, walaupun tidak semua, dan banyak bertanya ke HRD dan juga karyawan lama yang sempat saya temui mengenai fasilitas untuk keluarga. Saya merasa perlu bertanya ke teman-teman karyawan, karena saya tahu HRD nggak bisa diharapkan. Sudah pasti mereka akan mengobral seribu satu janji surga demi mendapatkan orang yang mereka inginkan untuk bekerja untuk perusahaan mereka. Karena itulah saya rewel (baca: teliti) dalam segala hal yang mereka janjikan.

Satu hal yang saya dan istri sangat perhatikan adalah masalah pendidikan anak-anak kami. Dan untuk hal ini, saya benar-benar berusaha untuk memastikan bahwa pendidikan mereka akan terjamin selama saya bekerja di tempat terpencil ini. Perusahaan menyediakan fasilitas pendidikan hingga jenjang SMP yang dikelola oleh yayasan yang bernaung di bawah perusahaan. Dan setelah tanya sana-sini selama kunjungan, saya memutuskan bahwa: Oke, kayaknya fasilitas pendidikannya cukup komplet, kualitasnya bagus, anak-anak saya akan mendapatkan pendidikan yang baik selama saya bekerja di sini.

Ternyata saya salah.

Ternyata yang katanya kualitas bagus itu adalah cerita lama. Yang saya dapatkan, mutu pendidikan yang ada tidaklah sesuai dengan harapan saya, tidak sampai ke batas ambang bawah pun. Yang saya dengar, mutu pendidikan yang ada memang semakin menurun dari waktu ke waktu karena berbagai macam alasan, kebanyakan alasan politis perusahaan dan politis masyarakat lokal.

Singkat kata, saya serta merta dihadapkan ke depan dua pilihan yang sangat sulit: tetap mempertahankan keluarga saya di sini dengan resiko pendidikan anak-anak, atau mengembalikan mereka ke kota asal kami di mana pendidikan mereka akan terjamin dengan resiko kami akan hidup berjauhan.

Anak-anak sangat dekat dengan saya. Hidup berjauhan untuk jangka waktu yang lama akan sangat sulit untuk mereka dan juga saya. Saya tidak pernah membayangkan hidup berjauhan dengan istri dan anak-anak saya untuk jangka waktu yang sangat lama. Sebelum ini, kami hanya berjauhan paling lama 3 minggu pada waktu saya bertugas ke luar kota. Namun untuk mempertahankan mereka di sini, saya akan merasa sangat bersalah, mengetahui mereka layak mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik daripada yang ada di sini.

Yang terjadi, kami memilih pilihan kedua.

Sudah sekian lama kami hidup terpisah dan hanya bertemu pada saat saya cuti, pulang ke kota di mana mereka tinggal. Saya berusaha mengatur hari cuti yang ada, kapan saya akan cuti terutama pada saat periode libur sekolah, berapa lama supaya hari yang ada cukup untuk dipakai selama setahun. Setiap kali saya mengajukan cuti ke atasan saya, saya menganggapnya adalah pemberitahuan semata dan bukan meminta ijin. Karena, diijinkan atau tidak, saya tetap akan pulang pada hari yang sudah saya tentukan untuk bertemu keluarga saya. Saya sudah secuek itu.

Namun, betapapun saya berusaha mengaturnya, tetaplah tidak cukup.

Hampir tiap dua-tiga hari sekali saya menelpon ke rumah. Hampir setiap saat saya telpon pula, anak-anak menyambut dan berebutan bercerita dengan riang. Tapi, tidak jarang pula mereka bertelepon dengan nada yang sangat sedih sambil mengungkapkan betapa kangennya mereka untuk ketemu ayah. Tidak sekali-dua istri saya mengirim SMS menceritakan bahwa dia memergoki salah satu anak kami sedang menangis tanpa suara, dan setelah ditanya kenapa ternyata mereka sedang kangen ayahnya! Dan betapa setiap kali saya akan berangkat ke bandara setelah cuti, mereka memeluk saya erat-erat sambil menangis, tidak rela ayahnya kembali ke negeri cartenz yang jauh di mata mereka.

Dan setiap kali semua itu terjadi, hati saya teriris-iris…

Saya jadi bertanya-tanya, apakah saya sudah membuat keputusan yang benar. Saya sendiri tidak tahu.

Saya sudah memakan buah simalakama itu…

 

Tulisan Perdana

Entah apa yang harus saya tulis di tulisan perdana ini…

Sebetulnya sudah lama juga saya ingin subscribe di blogspot.com, apalagi banyak temen yang memanasi, secara langsung maupun tidak, agar saya subscribe juga di situs ini. Lagipula menulis adalah salah satu cara yang saya pikir bisa menghilangkan kepenatan pikiran yang didapat di kantor. Saya suka menulis…

Begitu subscribe, saya malah bingung mau diberi header apa untuk tema blog saya ini. Setelah berpikir lama (ini salah satu kelemahan saya, kalau mikir lama banget. Dasar lelet…) dan berganti-ganti nama beberapa kali, akhirnya saya putuskan untuk menggunakan tema ‘Take It Easy…’ yang sudah saya coba jalani beberapa waktu belakangan ini (tuh kan, sebetulnya udah ada. Nyampenya ke situ aja yang lama…).

Sampailah pada kolom untuk mengisi alamat URL / nama blogspot, dan saya bingung lagi. Beberapa nama yang saya pilih sudah digunakan orang lain yang sudah jauh lebih dulu sadar betapa enaknya menulis. Setelah beberapa nama yang saya coba masukkan gagal terus, akhirnya daripada pusing saya masukkan saja nama minuman yang paling saya suka: bajigur! (bagi yg nggak tau apa itu bajigur, mungkin akan saya bahas di tulisan saya yang lain, mikirnya lama nih…).

Begitulah, kolom demi kolom dengan susah payah saya isi, akhirnya selesai juga (untuk tidak mengatakan berapa banyak kolom yang masih saya kosongi…). Kemudian sampailah saya di sini. Saya sudah bisa mulai menulis! Dan sekali lagi saya bingung. Justru di saat saya sudah bisa mulai menulis apa saja yang saya inginkan, saya malah bingung memikirikan apa yang harus saya tulis. Sepertinya saya punya sindroma yg membuat saya sulit mengungkapkan apa yang di benak saya. Otak kiri dan kanan nggak sinkron! Nggak heran kalau gampang stress nih…

But take it easy…

Itulah yang saya coba jalani beberapa tahun belakangan ini. Walaupun tidak membuat saya berhenti berusaha (dalam hal apapun), saya mulai bisa bersikap sedikit lunak terhadap diri saya sendiri, mulai bisa pasrah kepada Tuhan. Hal ini dimulai ketika pada satu periode waktu segala apa yang saya rencanakan gagal total, semua berantakan. Padahal saya termasuk orang yang merencanakan segala sesuatu, dan melakukan sesuai dengan rencana-rencana tersebut, dan sebelum itu semuanya selalu berjalan sesuai dengan rencana saya.

Rencana saya…?

Saya jadi takabur. Dan Tuhan tidak suka itu. Tuhan ternyata Maha Baik, masih saja memperhatikan saya yang mulai sombong dan pongah, serta mulai menepikan andilNya dalam kehidupan saya. Maka digagalkanNya lah semua rencana saya dalam satu kurun waktu. Kurun waktu yang cukup panjang. Dan saya tidak terima, tidak siap dengan kenyataan itu. Dan saya stress…

Dan sekali lagi Tuhan membuktikan bahwa Dia Maha Baik.

Kalau Tuhan tidak Maha Baik, saya nggak akan bisa melihat apa maksud Tuhan membuat saya jadi begini.

Dan sampailah saya di sini.

Take it easy… Semua kejadian pasti ada hikmahnya. Dan saya (kadang) bisa lebih santai terhadap apa yang terjadi, terhadap hasil yang saya peroleh dari apa yang coba saya lakukan, walaupun sifat lama saya tetap ada dan saya tetap keukeuh dalam melakukan apapun yang saya lakukan.

Take it easy.

(Tuh kan, tadi rasanya sulit banget nulis. Begitu udah mulai, malah jadi kepanjangan…:p)